Ki Surya Wignyocarito menggelar satu
episode wayang, pra-Pandawa, dengan judul Gandamana Luweng. Gandamana seorang
mahapatih Astina, semasa pemerintah¬an Pandu. Gandamana adalah gambaran seorang
ksatria yang jujur, polos, sederhana, adil, penuh pengabdian, dan setia kepada
kebenaran. Ia mendapat tugas dari rajanya untuk mencari fakta yang sebenarnya
ke Pringgandani. Apakah raja raksasa, Tremboko, benar mengirim surat ke Astina
yang berisi sebuah tantangan terhadap Pandu. Nalar Pandu ragu terhadap Tremboko
berulah seperti itu.
Sesampai di batas negara Pringgandani,
telah terjadi tawur masa antara prajurit Astina dan Pringgandani. Genderang
perang bertalu-talu; Gandamana mengibarkan bendera putih, pertanda pembawa misi
perdamaian. Agaknya ada penelusup, sekaligus provokator, penggerak amuk masa di
kedua belah pihak. Tidak tahu sebab-musababnya, Gandamana telah dihujani
berbagai senjata dan dikeroyok habis-habisan. Gandamana sama sekali tidak
melawan, sebab yakin ada kesalahpahaman. Gandamana didorong terus ke sebuah
sumur jebakan, “luweng.” Gandamana terperangkap dan ter¬perosok ke dalam luweng
tersebut. Tidak hanya itu, Gandamana ditimbun hidup-hidup dengan bebatuan.
Masa Pringgandani yang brutal dapat
dikendalikan dan diundurkan rajanya, Tremboko. Atas bantuan Tremboko pula,
Gandamana dapat terselamatkan dari maut. Keduanya, Gandamana dan Tremboko,
semakin yakin bahwa ada tangan jahil yang mengeruhkan situasi. Keyakinan itu
semakin mantap setelah Tremboko me¬nyerah¬kan surat yang berisi tantangan Pandu
terhadap raja raksasa yang sakti itu.
Pada akhir cerita dalang, diketahui
bahwa ada sentana Astina, Sengkunilah yang mengatur semuanya, agar terjadi
benturan kekuatan antara Pringgandani dengan Astina. Intinya, adalah Sengkuni
mencari muka, ngaji pumpung, dan mélik nggéndhong lali. Dalam berbagai kasus di
negeri ini, persoalannya tentu tidak sejelas dan semudah seperti alur lakon
Gandamana Luweng di atas. Hal ini sangat bergantung pada kecerdasan,
ke¬canggih¬an, atau sanggit dalang. Permasalahannya adalah, siapa dalang yang
sebenar¬nya, sehingga mampumembikin jagad Nusantara menjadi gonjang-ganjing?
Apakah di balik lakon itu terdapat sebuah, atau lebih, tim pembuat huru-hara
yang menyusun skenario itu.Tokoh-tokoh wayang yang lazimnya memiliki tipologi
bulat, meski tidak hitam dan putih, nampakkah sekarang? Kalau di masa silam
wayang sering dijadikan sebagai simbol, pasemon, dan juga cermin budaya bangsa,
apakah masih mampu menjawab dan memberikan gambaran berbagai persoalan yang
dihadapi Indonesia modern sekarang? Berkaitan dengan banyak kasus yang
melahirkan bermacam-macam masalah rumit, termasuk segala rupa mafia dan makelar
di Indonesia kini, siapa yang berperan sebagai tokoh-tokoh utamanya?Gandamana
yang terkorbankan, atau memang pantas dikorban¬kan? Atau orang-orang baik layak
untuk dijebak, agar keadilan, kearifan, dan kebajikan tidak merebak. Siapa pula
tokoh Nasional yang berkarakter sebagai Sengkuni? Sengkuni yang IQ-nya cerdas
tetapi julig, culas, vested interes, penjilat, pengadu domba, khianat, dan
ambisius. Siapa pula sebenarnya Prabu Pandu yang berpenampilan kalem, terkesan
bijak, tetapi selalu lamban dalam menangani berbagai.permasalahan kini.
Untuk itulah Pandu sering mendapat protes, termasuk adiknya sendiri, Yama Widura. Apalagi setelah Pandu secara sepihak memecat Gandamana, yang dianggap tidak loyal kepada raja. Bahkan Sengkuni yang licik, telah diangkat sebagai mahapatih Astina, pengganti Gandamana. Padahal Gandamana, oleh banyak orang dianggap sangat jujur, tanpa pamrih, dan kesetyaannya terhadap raja dan negara telah teruji.Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita sangatlah sulit untuk mengurai permasalahanya. Sebab, semua yang terlibat—dengan bermodal kecakapan bicara serta wajah meyakinkan tetapi penuh kepura-puraan—berusaha menghindar dari tuduhan dan dakwaan. Jika perlu teman-teman dekat didorong untuk terperosok dalam reka jebakan. Agaknya tokoh Sengkuni, dalam pertunjukan panggung Indonesia, telah berinkarnasi ke jutaan tokoh di mana-mana.
Roh-roh Sengkuni itu telah menyelinap dan menebar di seluruh latar, di bilik-bilik institusi, di kamar-kamar atasan, di sela-sela bicara, di jeruji-jeruji bui, di meja-meja pimpinan lembaga, di sidang-sidang pengadilan, di pansus-pansus markus, di almari-almari dokumen negara, di file-file petinggi seluruh negeri, di perdebatan-perdebatan pemilu, di kampane-kampanye pilkada, dan di mana pun serta kapan saja.Akibat dari semuanya, sangat langka menemukan tokoh ksatria, negarawan, seperti Gandamana yang tangguh, yang jujur, yang setya, dan yang tidak ambisius. Kesuksesan Sengkuni-Sengkuni di seluruh institusi negeri ini benar-benar sangat menghantui Surti, seorang pesinden amatir, yang aktivis pergerakan kesetaraan jender. Akan diarahkan menjadi apa serta akan dibawa ke mana bangsa dan negeri ini? Gerutu Surti setiap pagi selepas nonton televisi.Kata dalang: ledhog iliné banyu, air selalu mencari celah untuk mengalir ke bawah. Kalau sumber air di atas keruh, pasti bermuara dengan penuh lumpur polusi yang menjijikkan. Pertanyaan-pertanyaan terus menguntit di relung hati Surti. Apakah negeri ini akan usai pada awal abad ini? Kalau tidak, siapa tokoh ksatria yang mampu me¬mimpin bangsa ini? Cara apa yang tepat untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nevotisme yang tiada henti? Apakah semua pejabat negeri ini harus diganti? Siapkah generasi pengganti, untuk bermental suci, adil, dan percaya diri? Sakbeja-bejané wong lali, isih beja wong kang éling lan waspada. Kata mutiara ini sudah lama dilupakan banyak orang dan tidak tahu bagaimana perwujudannya.
Untuk itulah Pandu sering mendapat protes, termasuk adiknya sendiri, Yama Widura. Apalagi setelah Pandu secara sepihak memecat Gandamana, yang dianggap tidak loyal kepada raja. Bahkan Sengkuni yang licik, telah diangkat sebagai mahapatih Astina, pengganti Gandamana. Padahal Gandamana, oleh banyak orang dianggap sangat jujur, tanpa pamrih, dan kesetyaannya terhadap raja dan negara telah teruji.Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita sangatlah sulit untuk mengurai permasalahanya. Sebab, semua yang terlibat—dengan bermodal kecakapan bicara serta wajah meyakinkan tetapi penuh kepura-puraan—berusaha menghindar dari tuduhan dan dakwaan. Jika perlu teman-teman dekat didorong untuk terperosok dalam reka jebakan. Agaknya tokoh Sengkuni, dalam pertunjukan panggung Indonesia, telah berinkarnasi ke jutaan tokoh di mana-mana.
Roh-roh Sengkuni itu telah menyelinap dan menebar di seluruh latar, di bilik-bilik institusi, di kamar-kamar atasan, di sela-sela bicara, di jeruji-jeruji bui, di meja-meja pimpinan lembaga, di sidang-sidang pengadilan, di pansus-pansus markus, di almari-almari dokumen negara, di file-file petinggi seluruh negeri, di perdebatan-perdebatan pemilu, di kampane-kampanye pilkada, dan di mana pun serta kapan saja.Akibat dari semuanya, sangat langka menemukan tokoh ksatria, negarawan, seperti Gandamana yang tangguh, yang jujur, yang setya, dan yang tidak ambisius. Kesuksesan Sengkuni-Sengkuni di seluruh institusi negeri ini benar-benar sangat menghantui Surti, seorang pesinden amatir, yang aktivis pergerakan kesetaraan jender. Akan diarahkan menjadi apa serta akan dibawa ke mana bangsa dan negeri ini? Gerutu Surti setiap pagi selepas nonton televisi.Kata dalang: ledhog iliné banyu, air selalu mencari celah untuk mengalir ke bawah. Kalau sumber air di atas keruh, pasti bermuara dengan penuh lumpur polusi yang menjijikkan. Pertanyaan-pertanyaan terus menguntit di relung hati Surti. Apakah negeri ini akan usai pada awal abad ini? Kalau tidak, siapa tokoh ksatria yang mampu me¬mimpin bangsa ini? Cara apa yang tepat untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nevotisme yang tiada henti? Apakah semua pejabat negeri ini harus diganti? Siapkah generasi pengganti, untuk bermental suci, adil, dan percaya diri? Sakbeja-bejané wong lali, isih beja wong kang éling lan waspada. Kata mutiara ini sudah lama dilupakan banyak orang dan tidak tahu bagaimana perwujudannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar